Viral Satpol PP Usir TikToker Live di Bundaran HI

Viral Satpol PP – Bundaran HI, ikon jantung kota Jakarta, kembali jadi panggung drama digital yang tak kalah menggelikan. Seorang TikToker muda, lengkap dengan ring light dan gaya centilnya, sedang melakukan siaran langsung alias live streaming tepat di tengah lalu lintas padat ibu kota. Tujuannya? Tentu demi konten dan banjir likes. Tapi yang terjadi malah sebaliknya—aksi itu mendadak viral setelah Satpol PP datang dan mengusirnya dari lokasi.

Video pengusiran ini menyebar cepat di media sosial, mengguncang netizen yang terbagi dua kubu: satu mendukung tindakan aparat, dan satu lagi membela sang TikToker dengan dalih “bebas berekspresi”. Tapi yang tak bisa di bantah, kejadian ini memunculkan pertanyaan lebih dalam tentang batas antara kebebasan berekspresi dan ketertiban umum.

Bundaran HI: Dari Simbol Nasional Jadi Studio Live

Bundaran HI bukan sekadar titik nolnya Jakarta. Ia adalah landmark yang punya nilai historis, simbol modernisasi, dan pusat pergerakan masyarakat urban. Tapi hari itu, semua makna itu seolah di lupakan. Kawasan yang semestinya steril dan tertib, malah disulap menjadi latar belakang konten live TikTok dengan joget-joget tak jelas.

TikToker tersebut terlihat begitu percaya diri—menari, bicara dengan kamera, melempar gimmick, bahkan mengajak interaksi dengan pejalan kaki. Beberapa orang berhenti, beberapa terganggu. Lalu muncul Satpol PP. Tegas, tanpa basa-basi, mereka meminta sang kreator konten untuk segera menghentikan aktivitasnya dan meninggalkan lokasi.

Tindakan itu pun terekam, bukan hanya oleh kamera petugas, tapi oleh netizen yang berada di sekitar lokasi. Dalam hitungan jam, video itu meledak di dunia maya. Tagar #BundaranHI, #SatpolPP, dan #TikTokLive meroket.

Antara Penertiban dan Citra Otoriter

Mereka yang pro terhadap tindakan Satpol PP menyebut bahwa Bundaran HI bukan tempat sembarangan. Keberadaan TikToker di sana bukan hanya mengganggu ketertiban umum, tapi juga bisa membahayakan lalu lintas. Bagaimana tidak? Orang berdiri lama di trotoar, di kelilingi perlengkapan lighting, kamera, dan bahkan beberapa penggemar yang berkumpul, tentu bisa menyebabkan kemacetan dan mengalihkan perhatian slot bonus new member.

Namun, tak sedikit pula yang menganggap tindakan Satpol PP berlebihan. Komentar-komentar seperti “masa live di larang?”, “ini cuma konten kok”, atau “ngapain sih repot urusin beginian?” bermunculan. Para pembela ini memandang pengusiran itu sebagai bentuk represi terhadap kebebasan berekspresi dan kreativitas anak muda.

Tapi mari bicara jujur—apa memang semua bentuk ekspresi layak di bela, meski merampas ruang publik orang lain?

Demam Konten dan Batas Akal Sehat

Fenomena ini bukan pertama kalinya. Indonesia sedang di landa demam slot resmi, di mana kamera ponsel menjadi alat utama pencari eksistensi. Banyak yang rela melakukan hal-hal ekstrem, absurd, bahkan berisiko demi sekadar viral. Dari prank keterlaluan hingga pamer gaya hidup mewah, kini giliran live streaming di tengah kota yang jadi tren.

Masalahnya, ketika ruang publik di jadikan latar konten pribadi, muncul konflik antara hak individual dan tanggung jawab sosial. Yang satu ingin viral, yang lain ingin aman dan nyaman. Ketika keseimbangan ini goyah, chaos sosial pun mengintai.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana obsesi terhadap popularitas digital bisa membutakan akal sehat. Seolah semua tempat bisa jadi panggung, semua aksi bisa di toleransi, asal bisa menaikkan engagement. Tapi realitanya, tidak semua ruang publik adalah zona bebas ekspresi tanpa batas.

Satpol PP di Tengah Sorotan Digital

Ironisnya, di tengah hujan kritik, Satpol PP justru ikut viral. Biasanya di pandang sebagai aparat penertiban yang “jadul” atau kaku, kini mereka jadi garda depan menjaga ruang publik dari invasi digital yang liar. Dalam video itu, mereka terlihat tenang namun tegas. Tidak ada kekerasan, hanya peringatan. Tapi tetap saja, reaksi netizen terbelah.

Ada yang menyarankan agar Satpol PP lebih fleksibel terhadap tren anak muda. Ada juga yang mendorong agar mereka semakin tegas terhadap penyalahgunaan ruang publik demi konten murahan. Yang pasti, Satpol PP kini menghadapi tantangan baru: bukan hanya menghadapi PKL liar, tapi juga para pencari konten liar yang merasa bebas melakukan apa saja demi angka viewers.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *